Industri peternakan babi di Indonesia terkena dampak negatif dari penyakit Demam Babi Afrika (African Swine Fever/ASF) yang banyak terjadi di wilayah dengan populasi babi domestik yang signifikan, seperti di provinsi Kalimantan Barat. Menyikapi hal tersebut, Kementerian Pertanian Republik Indonesia bersama Badan Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-bangsa (FAO) dan didukung oleh Kementerian Pertanian, Pangan dan Pedesaan (MAFRA) Republik Korea, meluncurkan program Intervensi Biosekuriti Komunitas African Swine Fever (ASF) atau Demam Babi Afrika (Community ASF Biosecurity Intervention/CABI). Mengikuti keberhasilan implementasi program percontohan CABI di Sulawesi Utara, inisiatif ini diperluas ke Kota Pontianak dan Kabupaten Landak di Kalimantan Barat.
Penerapan langkah-langkah biosekuriti pada usaha peternakan dapat menekan penyebaran ASF, mencegah penurunan produksi, dan meminimalisir kerugian ekonomi bagi para peternak, kata Nasrullah, Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian. Nasrullah juga menekankan bahwa ASF merupakan penyakit hewan yang sangat menular, sehingga akan mengancam populasi babi domestik di Indonesia.
Program CABI merupakan pendekatan yang tepat untuk mengatasi dan memitigasi risiko penyakit ASF untuk menjaga kesehatan babi dan meminimalkan kerugian finansial sehingga memperbaiki situasi kesehatan hewan secara keseluruhan di wilayah ini, kata Ani Sofian, Pj. Walikota Pontianak. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa sejumlah langkah-langkah pencegahan ASF yang ketat saat ini telah dilakukan di tingkat nasional dan subnasional, termasuk pengendalian perbatasan.
Kalimantan Barat menempati peringkat keenam secara nasional dalam hal jumlah populasi babi domestik tertinggi, dengan 80% di antaranya berada di peternakan rakyat yang mengikuti pola peternakan tradisional. Namun penerapan biosekuriti di wilayah tersebut masih kurang. Lebih lanjut Pj. Walikota Pontianak menjelaskan, tingginya risiko penyakit ASF di Kalimantan Barat berdampak pada penurunan populasi babi, kenaikan harga daging babi yang signifikan, dan kerugian ekonomi yang tinggi bagi peternak babi skala kecil.
Rajendra Aryal, Perwakilan FAO di Indonesia dan Timor Leste menekankan pentingnya dukungan dan partisipasi semua pihak untuk pencegahan ancaman ASF. CABI diharapkan dapat direplikasi di wilayah lain untuk melindungi industri peternakan babi di tanah air dan meningkatkan sistem kesehatan hewan Indonesia secara berkelanjutan. FAO berkomitmen untuk bekerja sama dengan Kementerian Pertanian serta pemerintah subnasional dan daerah untuk memberikan dukungan teknis yang diperlukan bagi pencegahan Demam Babi Afrika yang efektif di Indonesia, kata Aryal.
Dalam kesempatan yang sama, Heronimus Hero, Kepala Dinas Perkebunan dan Peternakan Provinsi Kalimantan Barat, melihat bantuan tersebut sangat bermanfaat untuk mencegah penyakit ASF dan penyakit lainnya sekaligus menjaga kualitas produk babi. Kami berharap semakin banyak peternak dapat menerapkan biosekuriti di peternakannya dan penerapan program CABI dapat dilakukan secara maksimal untuk membangkitkan kembali minat masyarakat untuk kembali beternak babi, pungkas Hero.